Suatu ketika, ada seorang pria yang
menganggap Natal sebagai sebuah takhayul belaka. Dia bukanlah orang yang
kikir. Dia adalah pria yang baik hati dan tulus, setia kepada
keluarganya dan bersih kelakuannya terhadap orang lain. Tetapi ia tidak
percaya pada kelahiran Kristus yang diceritakan setiap gereja di hari
Natal. Dia sunguh-sungguh tidak percaya.
“Saya benar-benar minta maaf jika saya membuat kamu sedih,” kata pria itu kepada istrinya yang rajin pergi ke gereja.
“Tapi saya tidak dapat mengerti mengapa Tuhan mau menjadi manusia. Itu adalah hal yang tidak masuk akal bagi saya… “
“Tapi saya tidak dapat mengerti mengapa Tuhan mau menjadi manusia. Itu adalah hal yang tidak masuk akal bagi saya… “
Pada malam Natal, istri dan anak-anaknya
pergi menghadiri kebaktian tengah malam di gereja. Pria itu menolak
untuk menemani mereka.
“Saya tidak mau menjadi munafik,” jawabnya.
“Saya lebih baik tinggal di rumah. Saya akan menunggumu sampai pulang.”
“Saya lebih baik tinggal di rumah. Saya akan menunggumu sampai pulang.”
Tak lama setelah keluarganya berangkat,
salju mulai turun. Ia melihat keluar jendela dan melihat butiran-butiran
salju itu berjatuhan. Lalu ia kembali ke kursinya di samping perapian
dan mulai membaca surat kabar.
Beberapa menit kemudian, ia dikejutkan
oleh suara ketukan. Bunyi itu terulang tiga kali. Ia berpikir seseorang
pasti sedang melemparkan bola salju ke arah jendela rumahnya. Ketika ia
pergi ke pintu masuk untuk mengeceknya, ia menemukan sekumpulan burung
terbaring tak berdaya di salju yang dingin. Mereka telah terjebak dalam
badai salju dan mereka menabrak kaca jendela ketika hendak mencari
tempat berteduh.
Saya tidak dapat membiarkan makhluk
kecil itu kedinginan di sini, pikir pria itu. Tapi bagaimana saya bisa
menolong mereka? Kemudian ia teringat akan kandang tempat kuda poni
anak-anaknya. Kandang itu pasti dapat memberikan tempat berlindung yang
hangat. Dengan segera pria itu mengambil jaketnya dan pergi ke kandang
kuda tersebut. Ia membuka pintunya lebar-lebar dan menyalakan lampunya.
Tapi burung-burung itu tidak masuk ke dalam.
Makanan pasti dapat menuntun mereka
masuk, pikirnya. Jadi ia berlari kembali ke rumahnya untuk mengambil
remah-remah roti dan menebarkannya ke salju untuk membuat jejak ke arah
kandang. Tapi ia sungguh terkejut. Burung-burung itu tidak menghiraukan
remah roti tadi dan terus melompat-lompat kedinginan di atas salju.
Pria itu mencoba menggiring mereka
seperti anjing menggiring domba, tapi justru burung-burung itu
berpencaran kesana-kemari, malah menjauhi kandang yang hangat itu.
“Mereka menganggap saya sebagai makhluk yang aneh dan menakutkan,” kata pria itu pada dirinya sendiri,
“…dan saya tidak dapat memikirkan cara lain untuk memberitahu bahwa mereka dapat mempercayai saya. Kalau saja saya dapat menjadi seekor burung selama beberapa menit, mungkin saya dapat membawa mereka pada tempat yang aman.”
“…dan saya tidak dapat memikirkan cara lain untuk memberitahu bahwa mereka dapat mempercayai saya. Kalau saja saya dapat menjadi seekor burung selama beberapa menit, mungkin saya dapat membawa mereka pada tempat yang aman.”
Pada saat itu juga, lonceng gereja
berbunyi. Pria itu berdiri tertegun selama beberapa waktu, mendengarkan
bunyi lonceng itu menyambut Natal yang indah.
Kemudian dia terjatuh pada lututnya dan berkata,
“Sekarang saya mengerti,” bisiknya dengan terisak.
“Sekarang saya mengerti mengapa KAU mau menjadi manusia…”
“Sekarang saya mengerti,” bisiknya dengan terisak.
“Sekarang saya mengerti mengapa KAU mau menjadi manusia…”
__________________________________________________________________
“Karena begitu besar kasih Allah akan
dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya
setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh
hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16)
Sumber : Renungan Harian.Com